Pada edisi lalu (tulisan 1 -3)
telah kami sebutkan 13 bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut
ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih
merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk
kelalaian itu adalah:
14. Benci Terhadap Anak Perempuan
Sebelum kita mengkaji masalah ini sebagai bentuk kesalahan dalam pendidikan anak, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah bahwa sikap ini merupakan cerminan kesalahan dalam akidah dan keyakinan.
Sebagian orang ketika diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala dengan lahirnya seorang anak perempuan maka ada rasa benci, dan dadanya terasa terhimpit dengan kehadirannya. Ini adalah perilaku dan budaya jahiliyah, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
Perkembangan baru pada beberapa Rumah Sakit Bersalin adanya fasilitas instalasi USG (Ultrasonografi) untuk mendeteksi jenis kelamin janin yang masih dalam kandungan sang ibu sebelum dilahirkan. Jika ternyata jenis kelamin janin itu laki-laki mereka bergembira, dan jika ternyata perempuan, maka mereka kecewa bahkan mengumpat. Na’uudzu Billah.
Kebencian terhadap anak-anak perempuan merupakan permasalahan serius dan mengandung bahaya besar, diantaranya:
a) Merupakan sikap penentangan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.
b) Merupakan penolakan terhadap pemberian Allah Ta’ala yang sebenarnya wajib disyukuri. Ini berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala.
c) Menyerupai perilaku kaum jahiliyah.
d) Sebagai bentuk dan sikap bodoh serta kerusakan pola pikir.
e) Merupakan pelimpahan beban kepada wanita di luar batas kemam-puannya. Sebagian suami marah-marah kepada istrinya karena memberikan anak perempuan, dan dia tidak menyadari bahwa dirinya sendiri adalah penyebab (faktor) proses kehamilan itu sendiri; padahal sekiranya mendapatkan anak laki-laki, maka akan lain ceritanya. Mengapa justru tidak membelenggu dirinya sendiri saat sang istri sedang melahirkan anak perempuannya.
f) Perilaku ini mengisyaratkan adanya bentuk penistaan terhadap kaum perempuan dan hujatan karena struktur fisiologi.
15. Memberi Nama yang Buruk kepada Anak
Ini merupakan kesalahan dalam pendidikan dan juga perbuatan kriminal terhadap anak. Syaikh Bakr Abu Zaid Hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya kami merenungkan dosa dan kemaksiatan secara umum. Saya menyadari adanya dosa dan kemaksiatan ketika seorang hamba bertaubat, maka taubat itu dapat menghancurkannya, memutus akibat buruknya. Karena Islam menutup (kesalahan) sebelumnya, meskipun dosa terbesar itu adalah syirik. Namun, ketika seorang bertaubat, maka taubat itu dapat menutup kesslahan besar itu sepanjang terpenuhi syarat-syarat yang diakui secara syariat. Hal ini merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara luas.
Akan tetapi, ada kemaksiatan yang menyambung berantai pada keturunan. Aib dari kesalahn itu menyatu sampai kepada anak cucu dari perbuatan kakek-kakek mereka. Menjadi janggal dan aneh pada pergaulan sesama laki-laki, sesama anak, maupun sesama perempuan.
Taubat dari kesalahan ini membutuhkan jalan yang teramat panjang, karena sudah terlanjur tercatat dalam berbagai sertifikat dan surat penting sejak awal kelahiran sang bayi menyambut kehidupan dunia ini sampai sejauh kehidupan yang dijalaninya di dunia ini, baik dalam akte kelahiran, kartu-kartu tanda pengenal, ijazah surat izin mengemudi (driving licence), dan sertifikat-sertifikat atau akta perjanjian lainnya.
Kesalahan itu adalah “pemberian nama yang buruk” terhadap anak yang merupakan kesalahan seorang ayah ketika tidak menemukan nama yang diakui oleh aturan syariah yang suci ini, dibenarkan oleh makna bahasa (arab) serta dibenarkan pula oleh fitrah manusia yang sehat.
Satu permasalahan ini merupakan buah pemikiran seorang ayah yang mengadopsi satu pola pikir, semuanya bergantung kepada pengaruh pengetahuan yang diserap oleh sang ayah. Celakanya, apabila yang masuk itu budaya dan peradaban Barat yang, mengidolakan sosok dan mendambakan nama-nama “kafir”, mencoba mencari-cari nama yang rapuh dari makna, dan berorientasi pada kemewahan upacara dan pesta kelahiran sehingga jauh dari pemberian nama-nama yang bernuansa syariah.
Bentuk kesalahan-kesalahan dalam pemberian nama itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pemberian nama kepada anak dengan nama-nama yang dilarang sangat diharamkan; seperti nama-nama Allah yang khusus bagi-Nya. Misalnya: Ar-Rahman, Al-Khaliq. Masuk dalam kategori ini adalah pemberian nama “penghambaan kepada selain Allah Ta’ala” seperti nama Abdun-Nabi, Abdul-Husain, Abdu Ali, begitu juga dengan nama-nama asing yang menjadi identitas khusus bagi musuh-musuh kita; dari golongan Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya, seperti: George, Michael, David, Joseph, Diana, Jacklyn. Karena kesalahan ini akan mengarah kepada hal yang lebih jauh dari apa yang kita bayangkan, sejauh mana keterikatan dan kedekatan orang tua dengan mereka ini.
b. Nama yang sebaiknya dihindari, dan bisa jadi diharamkan dipakai,; seperti nama tokoh-tokoh diktator dan pemimpin kejam seperti Fir’aun, Haman, Qarun, serta orang-orang yang setipe dan sejenis seperti Marx, Lenin, Stalin, Freud. Sebab memberi nama dengan nama-nama mereka mengesankan kerelaan hati atas perbuatan-perbuatan mereka serta kekaguman kepada prinsip hidup mereka.
c. Pemberian nama anak dengan nama yang disangkakan sebagai nama Allah Ta’ala. Nama seperti ini dibenci dalam agama seperti nama: Abdul-Maqsud, Abdus-Sattar, Abdul-Maujud.
d. Nama yang dimakruhkan secara etika dan rasa; secara leksikal mengandung arti pesemistis dan negative atau nama-nama secara psikologis tidak membanggakan; seperti nama Harb (perang), Himar (keledai), Kalb (anjing), Murrah (pohon berbuah pahit).
e. Nama yang lucu dan mengejek; seperti Fulful (cabe), Syahaat (debu yang berterbangan), Khaisyah (kain murahan), Baghl (kuda kecil), Jahsy (anak keledai), Fajl (keras, kaku).
f. Nama yang mengesankan kerapuhan hidup; seperti Huyam (gila karena cinta), begitu juga dengan nama Wishal (puasa tanpa berbuka), Fatin (penyebar fitnah), Fitnah (fitnah), Syadiyah (binasa).
g. Nama malaikat; khususnya untuk wanita, karena dikhawatirkan menyerupai perilaku orang-orang musyrik.
h. Nama anak yang mengandung makna pribadi suci; Barrah (bijak).
16. Kesibukan Orang Tua di Luar Rumah
Sebagian orang tua mengabaikan rumahnya, berada di luar rumah dalam waktu yang lama, sehingga membahayakan anal-anak dengan berbagaimacam fitnah dan musibah, keterasingan dan penyimpangan perilaku. Di antara potret masalah ini adalah:
a. Kesibukan orang tua pada bisnis dan perdagangan yang mengabaikan anak-anak. Sekiranya orang tua –seperti ini- diperingatkan, maka mereka akan menjawab, “Sesungguhnya saya bekerja ini demi kebutuhan mereka.”
b. Perjalanan panjang di luar negeri untuk urusan bisnis atau pelancongan.
c. Kumpul-kumpul bersama teman-teman dalam waktu yang lama pada waktu istirahat (luang) dan tempat-tempat rekreasi.
d. Melupakan rumah pertama (istri pertama) ketika seseorang menikah lagi dengan istri yang baru, dan tinggal bersama istri yang baru dalam satu rumah. Betapa banyak orang yang berpoligami kemudian melupakan rumah (istri)nya yang pertama. Maka, akhirnya ia melalaikan anak-anaknya, sehingga mereka tidak terkontrol karena kesibukan dan jauhnya (keterpautan hati) orang tua mereka.
e. Inilah sebagian potret kesibukan (dalam waktu yang lama) di luar rumah. Betapa banyak perilaku menelantarkan anak-anak. Betapa banyak cara yang mengantarkan mereka kepada bencana dan fitnah, betapa banyak dari mereka yang tidak merasakan kasih sayang, perhatian dan pemeliharaan maksimal dari orang tua mereka. Alangkah indahnya bait yang dilantunkan oleh seorang penyair:
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
14. Benci Terhadap Anak Perempuan
Sebelum kita mengkaji masalah ini sebagai bentuk kesalahan dalam pendidikan anak, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah bahwa sikap ini merupakan cerminan kesalahan dalam akidah dan keyakinan.
Sebagian orang ketika diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala dengan lahirnya seorang anak perempuan maka ada rasa benci, dan dadanya terasa terhimpit dengan kehadirannya. Ini adalah perilaku dan budaya jahiliyah, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. An-Nahl: 58-59)Alangkah miripnya kejadian masa lalu dengan hari ini. Sekiranya engkau berkunjung ke salah satu Rumah Sakit Bersalin di negara muslim, engkau tajamkan pandanganmu pada wajah-wajah orang-orang yang mendapatkan anak-anak perempuan, engkau perhatikan pembicaraan mereka, engkau amati perasaan mereka saat diberitahukan kepada mereka tentang persalinan istri mereka, maka engkau temukan kesesuaian yang mencengangkan, kecocokan yang mengherankan antara kondisi mereka ini dengan kondisi kaum jahiliyah yang telah Allah Ta’ala ceritakan kepada kita semua.
Perkembangan baru pada beberapa Rumah Sakit Bersalin adanya fasilitas instalasi USG (Ultrasonografi) untuk mendeteksi jenis kelamin janin yang masih dalam kandungan sang ibu sebelum dilahirkan. Jika ternyata jenis kelamin janin itu laki-laki mereka bergembira, dan jika ternyata perempuan, maka mereka kecewa bahkan mengumpat. Na’uudzu Billah.
Kebencian terhadap anak-anak perempuan merupakan permasalahan serius dan mengandung bahaya besar, diantaranya:
a) Merupakan sikap penentangan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.
b) Merupakan penolakan terhadap pemberian Allah Ta’ala yang sebenarnya wajib disyukuri. Ini berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala.
c) Menyerupai perilaku kaum jahiliyah.
d) Sebagai bentuk dan sikap bodoh serta kerusakan pola pikir.
e) Merupakan pelimpahan beban kepada wanita di luar batas kemam-puannya. Sebagian suami marah-marah kepada istrinya karena memberikan anak perempuan, dan dia tidak menyadari bahwa dirinya sendiri adalah penyebab (faktor) proses kehamilan itu sendiri; padahal sekiranya mendapatkan anak laki-laki, maka akan lain ceritanya. Mengapa justru tidak membelenggu dirinya sendiri saat sang istri sedang melahirkan anak perempuannya.
f) Perilaku ini mengisyaratkan adanya bentuk penistaan terhadap kaum perempuan dan hujatan karena struktur fisiologi.
15. Memberi Nama yang Buruk kepada Anak
Ini merupakan kesalahan dalam pendidikan dan juga perbuatan kriminal terhadap anak. Syaikh Bakr Abu Zaid Hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya kami merenungkan dosa dan kemaksiatan secara umum. Saya menyadari adanya dosa dan kemaksiatan ketika seorang hamba bertaubat, maka taubat itu dapat menghancurkannya, memutus akibat buruknya. Karena Islam menutup (kesalahan) sebelumnya, meskipun dosa terbesar itu adalah syirik. Namun, ketika seorang bertaubat, maka taubat itu dapat menutup kesslahan besar itu sepanjang terpenuhi syarat-syarat yang diakui secara syariat. Hal ini merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara luas.
Akan tetapi, ada kemaksiatan yang menyambung berantai pada keturunan. Aib dari kesalahn itu menyatu sampai kepada anak cucu dari perbuatan kakek-kakek mereka. Menjadi janggal dan aneh pada pergaulan sesama laki-laki, sesama anak, maupun sesama perempuan.
Taubat dari kesalahan ini membutuhkan jalan yang teramat panjang, karena sudah terlanjur tercatat dalam berbagai sertifikat dan surat penting sejak awal kelahiran sang bayi menyambut kehidupan dunia ini sampai sejauh kehidupan yang dijalaninya di dunia ini, baik dalam akte kelahiran, kartu-kartu tanda pengenal, ijazah surat izin mengemudi (driving licence), dan sertifikat-sertifikat atau akta perjanjian lainnya.
Kesalahan itu adalah “pemberian nama yang buruk” terhadap anak yang merupakan kesalahan seorang ayah ketika tidak menemukan nama yang diakui oleh aturan syariah yang suci ini, dibenarkan oleh makna bahasa (arab) serta dibenarkan pula oleh fitrah manusia yang sehat.
Satu permasalahan ini merupakan buah pemikiran seorang ayah yang mengadopsi satu pola pikir, semuanya bergantung kepada pengaruh pengetahuan yang diserap oleh sang ayah. Celakanya, apabila yang masuk itu budaya dan peradaban Barat yang, mengidolakan sosok dan mendambakan nama-nama “kafir”, mencoba mencari-cari nama yang rapuh dari makna, dan berorientasi pada kemewahan upacara dan pesta kelahiran sehingga jauh dari pemberian nama-nama yang bernuansa syariah.
Bentuk kesalahan-kesalahan dalam pemberian nama itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pemberian nama kepada anak dengan nama-nama yang dilarang sangat diharamkan; seperti nama-nama Allah yang khusus bagi-Nya. Misalnya: Ar-Rahman, Al-Khaliq. Masuk dalam kategori ini adalah pemberian nama “penghambaan kepada selain Allah Ta’ala” seperti nama Abdun-Nabi, Abdul-Husain, Abdu Ali, begitu juga dengan nama-nama asing yang menjadi identitas khusus bagi musuh-musuh kita; dari golongan Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya, seperti: George, Michael, David, Joseph, Diana, Jacklyn. Karena kesalahan ini akan mengarah kepada hal yang lebih jauh dari apa yang kita bayangkan, sejauh mana keterikatan dan kedekatan orang tua dengan mereka ini.
b. Nama yang sebaiknya dihindari, dan bisa jadi diharamkan dipakai,; seperti nama tokoh-tokoh diktator dan pemimpin kejam seperti Fir’aun, Haman, Qarun, serta orang-orang yang setipe dan sejenis seperti Marx, Lenin, Stalin, Freud. Sebab memberi nama dengan nama-nama mereka mengesankan kerelaan hati atas perbuatan-perbuatan mereka serta kekaguman kepada prinsip hidup mereka.
c. Pemberian nama anak dengan nama yang disangkakan sebagai nama Allah Ta’ala. Nama seperti ini dibenci dalam agama seperti nama: Abdul-Maqsud, Abdus-Sattar, Abdul-Maujud.
d. Nama yang dimakruhkan secara etika dan rasa; secara leksikal mengandung arti pesemistis dan negative atau nama-nama secara psikologis tidak membanggakan; seperti nama Harb (perang), Himar (keledai), Kalb (anjing), Murrah (pohon berbuah pahit).
e. Nama yang lucu dan mengejek; seperti Fulful (cabe), Syahaat (debu yang berterbangan), Khaisyah (kain murahan), Baghl (kuda kecil), Jahsy (anak keledai), Fajl (keras, kaku).
f. Nama yang mengesankan kerapuhan hidup; seperti Huyam (gila karena cinta), begitu juga dengan nama Wishal (puasa tanpa berbuka), Fatin (penyebar fitnah), Fitnah (fitnah), Syadiyah (binasa).
g. Nama malaikat; khususnya untuk wanita, karena dikhawatirkan menyerupai perilaku orang-orang musyrik.
h. Nama anak yang mengandung makna pribadi suci; Barrah (bijak).
16. Kesibukan Orang Tua di Luar Rumah
Sebagian orang tua mengabaikan rumahnya, berada di luar rumah dalam waktu yang lama, sehingga membahayakan anal-anak dengan berbagaimacam fitnah dan musibah, keterasingan dan penyimpangan perilaku. Di antara potret masalah ini adalah:
a. Kesibukan orang tua pada bisnis dan perdagangan yang mengabaikan anak-anak. Sekiranya orang tua –seperti ini- diperingatkan, maka mereka akan menjawab, “Sesungguhnya saya bekerja ini demi kebutuhan mereka.”
b. Perjalanan panjang di luar negeri untuk urusan bisnis atau pelancongan.
c. Kumpul-kumpul bersama teman-teman dalam waktu yang lama pada waktu istirahat (luang) dan tempat-tempat rekreasi.
d. Melupakan rumah pertama (istri pertama) ketika seseorang menikah lagi dengan istri yang baru, dan tinggal bersama istri yang baru dalam satu rumah. Betapa banyak orang yang berpoligami kemudian melupakan rumah (istri)nya yang pertama. Maka, akhirnya ia melalaikan anak-anaknya, sehingga mereka tidak terkontrol karena kesibukan dan jauhnya (keterpautan hati) orang tua mereka.
e. Inilah sebagian potret kesibukan (dalam waktu yang lama) di luar rumah. Betapa banyak perilaku menelantarkan anak-anak. Betapa banyak cara yang mengantarkan mereka kepada bencana dan fitnah, betapa banyak dari mereka yang tidak merasakan kasih sayang, perhatian dan pemeliharaan maksimal dari orang tua mereka. Alangkah indahnya bait yang dilantunkan oleh seorang penyair:
Bukanlah yatim paitu ituBersambung insya Allah
Seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya
Dan keduanya meninggalkannya dalam keadaan terhina
Sesungguhnya yatim itu
Seorang yang mempunyai kedua orang tua
Tetapi, ibunya meninggalkan rumah dan ayahnya sibuk
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar