Meski begitu besar tanggung jawab dalam
mendidik anak, namun banyak orangtua yang melalaikannya. Bahkan tidak
sedikit yang menganggap enteng amanah tersebut. Mereka tidak memelihara
dengan sebaik-baiknya. Mereka menelantarkan anak-anaknya, mengabaikan
pendidikannya, tidak memperhatikan dan tidak mengarahkan mereka.
Begitu mereka melihat benih-benih penyimpangan dan kenakalan pada
anak-anak mereka, mulailah mereka menghardik dan mengeluhkannya. Mereka
tidak menyadari, penyebab utama dari kenakalan dan penyimpangan itu
adalah kelalaian mereka sendiri. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah
sya’ir,
Dia telah campakkan anak-anaknya ke telaga dengan terbelenggu
Lalu berkata, “Jangan sekali-kali engkau basah dengan air!”
Kelalaian dalam mendidik anak banyak
sekali bentuk dan ragamnya. Semua bentuk kelalaian itu akan menjadi
penyebab penyimpangan dan kenakalan pada anak-anak. Diantara
bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:
1. Membiasakan Anak Memiliki Sifat Penakut dan Tidak Percaya Diri
Diantara kesalahan yang sering terjadi
dalam mendidika anak adalah menakut-nakuti mereka saat menangis agar
diam. Seperti menakut-nakuti mereka dengan hantu, orang jahat, jin,
suara angin dan lain-lain.
Efek negatif dari kesalahan metode ini,
yakni menakuti-nakuti mereka dengan guru, sekolah, atau dokter, maka
mereka akan tumbuh dalam bayang-bayang perasaan takut, gemetar dan
gelisah jika disebutkan nama-nama tersebut. Ini adalah bentuk ketakutan
yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Disamping itu, ada hal yang sangat
berpengaruh dalam menanamkan sifat pada diri anak, yaitu sikap panik dan
gugup orang tua atas sesuatu yang menimpa si anak.
Sebagai contoh, ketika si anak terjatuh
dari lantai hingga terluka dan keluar darah pada bagian wajah, tangan
atau lututnya. Sang ibu bukannya berusaha menenangkan rasa takut pada
anaknya dengan memberikan pengertian bahwa kecelakaan (jatuh) yang
terjadi padanya adalah hal yang biasa dan tidak berbahaya. Tetapi, sang
ibu justru terlihat gugup dan takut, menampar wajahnya sendiri, atau
memukul-mukul dadanya, dan berteriak meminta pertolongan kepada seluruh
penghuni rumah.
Sikap seperti ini akan membuat sikap si
anak yang mestinya biasa saja atas kejadian tersebut, justru
menjadikannya seolah-olah menghadapi masalah yang besar, hingga sang
anak semakin keras menangis karena ketakutan, bukan rasa sakit yang
dialami. Dan akhirnya, anak akan terbiasa ketakutan apabila melihat
darah atau merasakan sakit.
2. Mendidik Anak Bersikap Ceroboh, Ceplas-Ceplos dan Mengganggu Orang Lain, namun Menganggapnya Sebuah Keberanian.
Ini merupakan bentuk kesalahan orang tua dalam mendidik anak, dan
merupakan kebalikan dari sikap yang pertama (poin 1). Adapun sikap yang
tepat bagi orang tua adalah mengarahkan kepada anak untuk bersikap
pertengahan dari keduanya. Yakni mendidik anak untuk bersikap berani
bersikap tetapi tidak berlebihan.
3. Mendidik Anak Tidak Berpendirian, Indispliner, Serta Membiasakan Mereka Hidup Mewah dan Berlebihan
Sikap ini akan membawa anak tumbuh dalam kemewahan dan kesenangan. Yang terpikirkan olehnya hanyalah kesenangan pribadi semata. Dia tidak mempunyai kepedulian kepada orang lain. Dia tidak mau bertanya tentang nasib dan keadaan saudara-saudaranya sesama Muslim, serta tidak mau berbagi suka dan duka bersama mereka. Metode pendidikan seperti ini akan merusak fitrah anak sebagai makhluk sosial, menghilangkan sifat istiqamah yang dimilikinya, serta memupuskan –sikap menjaga- harga diri dan keberaniannya. (bersambung insya Allah )
Sikap ini akan membawa anak tumbuh dalam kemewahan dan kesenangan. Yang terpikirkan olehnya hanyalah kesenangan pribadi semata. Dia tidak mempunyai kepedulian kepada orang lain. Dia tidak mau bertanya tentang nasib dan keadaan saudara-saudaranya sesama Muslim, serta tidak mau berbagi suka dan duka bersama mereka. Metode pendidikan seperti ini akan merusak fitrah anak sebagai makhluk sosial, menghilangkan sifat istiqamah yang dimilikinya, serta memupuskan –sikap menjaga- harga diri dan keberaniannya. (bersambung insya Allah )
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar